Monday, November 17, 2008

TERAPI EPILEPSI DAN DIET KETOGENIK


  • Kejang grand mal , yaitu jenis epilepsi yang paling banyak terjadi. Pasien yang megalami serangan tiba-tiba jatuh, kejang, napas terengah-engah, dan keluar air liur. Beberapa pasien umumnya ngompol atau menggigit lidah. Serangan terjadi beberapa menit kemudian diikuti lemah, bingung, sakit lepala, atau tertidur.
  • Kejang petit mal, umumnya terjadi pada anak-anak atau awal remaja. Pasien tiba-tiba melotot atau mata berkedip-kedip dengan kepala terkulai. Serangan hanya terjadi beberapa detik dan bahkan sering tidak disadari.
  • Kejang myoclonic, biasanya terjadi pagi hari setelah bangun tidur berupa sentakan sesaat secara tiba-tiba. Kejang ini dapat dialami oleh penderita epilepsi maupun orang normal/sehat.
  • Kejang atonic, merupakan jenis serangan yang paling jarang terjadi. Pasien tiba-tiba jatuh, dan pulih kembali beberapa saat kemudian.

Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan tinggi lemak dan rendah karbohidrat dan protein sehingga memicu keadaan ketosis.

Diet ini mengandung 2-4 gram lemak untuk setiap kombinasi 1 gram karbohidrat dan protein. Diet ketogenik biasanya digunakan sebagai terapi dari epilepsi. Melalui diet ketogenik, lemak menjadi sumber energi dan keton terakumulasi di dalam otak sehingga menjadi tinggi kadarnya (ketosis).

Keadaan ketosis ini dipercaya dapat menghasilkan efek antikonvulsi, yang dapat mengurangi simptom epilepsi dengan mengurangi frekuensi dan derajat kejang, meskipun bagaimana mekanisme biokimia peristiwa ini belum diketahui dengan pasti. Pada anak-anak diet ini dirasakan lebih efektif dibandingkan orang dewasa, khususnya pada saat obat antikolvusan tidak bekerja secara efektif atau menjadi kontraindikasi.

Makanan yang digunakan dalam diet ini memanfaatkan produk trigliserida dengan kandungan tinggi (mentega, krim, mayonais) dan kacang. Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam makanan dan minuman dikurangi untuk menambah efek akumulasi keton. Diet ketogenik sebenarnya telah lama ditemukan yaitu pada sekitar tahun 1930-an; tetapi sejak diketemukannya phenytoin pada tahun 1938, diet ini semakin jarang digunakan. Pada tahun 1990-an diet ini dikembangkan dan diimplementasikan kembali pada klinik Mayo dan Fakultas Kedoketran John Hopkins.

Diet ketogenik merupakan alternatif terapi khususnya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang tidak terkendali. Diet harus dilakukan dengan hati-hati dan dibawah pengawasan ahli gizi. Pada diet ketogenik ini hingga 90% sumber kalori dapat diberikan dalam bentuk lemak, dengan asupan protein tidak lebih dari 1g /kg berat badan dan minimal karbohidrat. Rasio standar dari kalori lemak berbanding karbohidrat dan protein adalah 4:1, pada anak-anak yang usianya lebih muda dan remaja rasio bisa menjadi 3:1 hal ini dikarenakan karena mereka dalam usia pertumbuhan sehingga diperlukan asupan protein lebih banyak. Cairan yang masuk dibatasi hingga 80% dari asupan biasa dan vitamin dan mineral harus diberikan dalam bentuk suplemen.

Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Fakultas Kedokteran John Hopkins yang melibatkan 150 pasien anak-anak dengan gangguan kejang tidak terkontrol dilaporkan terjadi penurunan serangan setelah pasien menjalani diet ketogenik ini.

Yang banyak menjadi pertanyaan adalah: Apakah diet ini tidak akan mengganggu pertumbuhan dan berat badan anak (anak menjadi obese karena makan tinggi lemak)?

Hasil menunjukkan bahwa anak-anak tetap tumbuh dalam batas-batas yang normal. Efek samping yang mungkin muncul akibat diet ketogenik jangka panjang adalah konstipasi, batu ginjal (6-7%); biasanya dalam bentuk kalsium sitrat atau asam urat, turunnya berat badan, dehidrasi, hipekolesterolnemia dan penipisan tulang (oleh karenanya pada diet ini bisanya ditambahkan preparat vitamin D dan kalsium).

Kesuksesan dari diet ini memungkinkan penurunan dosis antikonvulsi yang berarti dapat menurunkan risiko efek samping dari pemakaian obat tersebut, sehingga diet ketogenik dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif dalam mengontrol serangan kejang khususnya pada anak-anak dengan epilepsi karena selain efektif juga dengan baik dapat ditoleransi (www.padusi.com ).


Problems on epilepsy do not only depend on itself but also on management and drug regimens. Optimal therapy selection is very important to yield optimal therapy effect and to prevent side effect due to longterm therapy. Phenytoin, carbamazepine and valproic are the first line drugs for general tonic clonic and parsial epilepsy. The aim of this study is to determine whether there are any different effects of monotherapy of phenytoin, carbamazepine, and valproic in pediatric general tonic clonic and partial epilepsy. A historical cohort study is conducted on children who were between one month until 18 years old and have been diagnosed general tonic clonic or parsial epilepsy and have been given phenytoin, carbamazepine or valproic therapy routinely
for more than two years in Sardjito hospital. The sample size are 41. The main outcome is time of 12 month remission and the secondary outcome are withdrawal from treatment, time to remission, side effects and cured. We found 175 medical records between January 2000 and May 2007 that agree to inclusion criteria , 21 were excluded. Thus, 154 of medical records role in the study, 65 to phenitoin group, 47 to carbamazepin group and 42 to valproat group. Valproat increased the possibility of 12 month remission (RR 2.66 95%CI 1.06-6.65) when compared to phenitoin, but carbamazepin did not (RR 1.47 95%CI 0.66-3.28). Survival analysis of valproat was better than carbamazepin (p=0.042) and phenitoin (p=0.007). There are not significant difference among groups in the result of withdrawal from treatment, time to remission and cured variables. The side effects of valproat seem less than others. Valproat increased the possibility of 12 month remission when compared to carbamazepin and phenitoin as monotherapy in pediatric general tonic clonic and partial epilepsy without increasing side effects. Carbamazepin have similar effects of therapy to phenitoin .

PERBANDINGAN EFEK TERAPI FENITOIN, KARBAMAZEPIN DAN

VALPROAT SEBAGAI MONOTERAPI PADA ANAK DENGAN EPILEPSI

GENERAL TONIK KLONIK DAN EPILEPSI PARSIAL


Permasalahan pada epilepsi tidak hanya tergantung dari faktor penyakit

epilepsinya itu sendiri, tetapi juga akibat dari terapi yang diberikan. Pemilihan obat

yang tepat sangat penting untuk mendapatkan efek terapi yang optimal dan

menghindari efek samping yang tidak diinginkan. Fenitoin, karbamazepin maupun

valproat adalah anti epilepsi pilihan pertama untuk epilepsi general tonik klonik dan

epilepsi parsial. Pemilihan obat pertama sebagai terapi epilepsi masih beragam.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan efek terapi

fenitoin, karbamazepin, dan valproat sebagai monoterapi pada anak dengan epilepsi

general tonik-klonik maupun epilepsi parsial.

Penelitian ini adalah suatu penelitian kohort retrospektif yang dilakukan pada

data rekam medis anak umur 1 bulan sampai 18 tahun dengan diagnosis epilepsi

general tonik klonik atau epilepsi parsial yang mendapatkan terapi fenitoin,

karbamazepin atau valproat lebih dari 2 tahun di RSUP dr Sardjito. Sampel yang

diperlukan 41. Luaran utama yang dinilai adalah lamanya bebas kejang 12 bulan, dan

luaran sekunder yaitu gagal pengobatan, lamanya kejang terakhir setelah terapi,

timbulnya efek samping dan kesembuhan.

Didapatkan 175 rekam medis dengan data lengkap, 21 dieksklusi dan 154

diikutsertakan dalam penelitian. Terdiri dari 65 dari kelompok terapi fenitoin, 47

karbamazepin dan 42 valproat. Valproat meningkatkan kemungkinan tercapainya

bebas kejang 12 bulan dengan RR 2.66 95%CI 1.06-6.65 dibandingkan dengan

fenitoin, tetapi karbamazepin tidak (RR 1.47 95%CI 0.66-3.28). Dengan analisis

kesintasan bebas kejang 12 bulan didapatkan valproat lebih baik dibanding

karbamazepin (p=0.042) maupun fenitoin (p=0.007). Tidak ada perbedaan bermakna

diantara ketiganya pada kegagalan pengobatan dan kesembuhan dengan efek samping

hampir sama.

Kesimpulannya adalah valproat meningkatkan kemungkinan tercapainya

bebas kejang 12 bulan dibandingkan dengan fenitoin dan karbamazepin sebagai

monoterapi pada anak dengan epilepsi general tonik klonik maupun epilepsi parsial

tanpa peningkatan efek samping, sedangkan karbamazepin mempunyai efek yang

tidak berbeda bila dibanding dengan fenitoin. (dr.Muchamad Budi Nugroho )




Isnatin Miladiyah

Dep. Farmakologi FK UII

ANTIKONVULSAN

Blok Sistem Saraf

Kejang (konvulsi)

  • Suatu episode disfungsi neurologik karena aktivitas sel-sel saraf yang abnormal
  • Manifestasi umum : perubahan kesadaran dan aktivitas motorik abnormal
  • Epilepsi (kejang berulang tanpa pemicu jelas) : 1% populasi
  • Terapi farmakologik: sangat bermanfaat à catatan: diagnosis akurat dan sesuai klasifikasi kejang

Klasifikasi kejang epilepsi
(International League against Epilepsy)

III. Kejang epileptik tak terdefinisikan

A. 1. Kejang absence

2. Kejang atypical absence

B. Kejang mioklonik

C. Kejang klonik

D. Kejang tonik

E. Kejang tonik-klonik

F. Kejang atonik

II. Kejang umum

A. Kejang parsial sederhana

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensori khusus

3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikis

B. Kejang parsial kompleks

1. Dimulai dengan kejang parsial sederhana kemudian berkembang ke gangguan kesadaran

2. Dengan gangguan kesadaran sejak pertama kali serangan

I. Kejang parsial (fokal, lokal)

Strategi terapi

  • Menghambat aktivitas repetitif – misalnya dengan memblok kanal Na+
  • Meningkatkan input inhibitorik – misalnya memperkuat GABA
  • Menurunkan input eksitatorik – misalnya antagonis glutamat

Klasifikasi Obat
(Berdasarkan Struktur)

1967

Karbamazepin

Antikonvulsan lain

1965

Diazepam, Lorazepam, Klonazepam, Klorazepat

Benzodiazepin

1953

Etosuksimid

Suksinat

1938

Fenitoin

Hidantoin

1914

Fenobarbital, Primidon

Barbiturat

Klasifikasi Obat
(Berdasarkan Mekanisme Kerja)

Levetiracetam

Modulasi protein sinaptik

Etosuksimid, Zonisamide

Modifikasi kanal kalsium

Felbamat, Lamotrigine, Topiramate

Mereduksi glutamat

Karbamazepin, Oxcarbazepine, Fenitoin

Menghambat kanal natrium

Clonazepam, Clorazepat, Lorazepam, Diazepam, Divalproat, Gabapentin, Fenobarbital, Primidon, Tiagabin, Asam valproat

Memperkuat GABA

Contoh

Klas Obat

Obat untuk

Partial Seizures atau Generalized Tonic-Clonic

Fenitoin

  • Obat generasi lama, digunakan luas
  • Mekanisme tidak pasti, diduga mempengaruhi kanal Na+
  • Dalam bentuk oral dan i.v.
  • Farmakokinetikanya kompleks :
    • Absorpsi oral cukup baik, bervariasi
    • Ikatan protein tinggi
    • Metabolisme terutama hepatal

    • T1/2 22 jam, variasi luas à 2x sehari
    • Induktor enzim metabolisme hepar antikonvulsan lain, juga antikoagulan
    • Toksisitas oral : nistagmus, ataksia, diplopia, sedasi
    • Pemberian lama: hirsutisme, hiperplasia gusi, disfungsi serebelar, neuropati perifer
    • Hipersensitivitas: demam, ruam (bisa berlanjut sindroma Steven-Johnson) à hentikan obat

Karbamazepin

  • Struktur dan mekanisme aksi: serupa fenitoin
  • Hanya bentuk oral
  • Farmakokinetika:
    • Ikatan protein <>
    • Metabolisme hepatal
    • T1/2 10-20 jam à 3x/hari, kadang 4x/hr

  • Toksisitas: ataksia, diplopia, sedasi, hiponatremia, anemia aplastik (jarang)
  • Derivat: Oxcarbazepine à efek samping lebih rendah

Barbiturat

  • Juga digunakan untuk hipnotik dan anestetik
  • Mekanisme aksi: meningkatkan GABA
  • Fenobarbital:
    • Bentuk oral, i.m., i.v.
    • T1/2 panjang (100 jam), metabolisme hepatal, induktor kuat enzim metabolisme hepar
    • Sering digunakan pada bayi (jarang pada dewasa karena efek sedasi kuat)
  • Primidon:
    • Toksisitas sebanding dengan fenobarbital

Asam valproat

  • Struktur mengandung gugus karboksilat
  • Mekanisme belum jelas
  • Bentuk: oral, i.v.
  • Metabolisme hepatal, T1/2 8-12 jam, menginduksi enzim hepar
  • Efek samping: tremor, kegemukan, nausea
  • Hepatotoksik: fatal, terutama pada bayi <>

Obat untuk

Primary Generalized Epilepsy


  • Etosuksimid
    • Drug of choice untuk tipe absence
  • Asam valproat
    • Efektif untuk kejang umum, selain untuk kejang fokal
    • Terutama apabila muncul kejang dengan berbagai tipe

Status Epileptikus

  • Benzodiazepin
    • Yang sering digunakan: Diazepam dan Lorazepam (karena stabil dan aksi cepat, secara i.v)
    • T1/2 biologik panjang, namun durasi aksi pendek karena segera diterminasi (redistribusi)
    • Bentuk oral jarang digunakan secara tunggal untuk terapi epilepsi (kadang sebagai terapi tambahan baik fokal maupun generalized)

Panduan Terapi Antikonvulsan

  • Perhatikan : tipe kejang dan faktor pencetusnya, usia saat onset kejang pertama, riwayat keluarga, dan adanya abnormalitas pola EEG intraiktal. (Cao dkk, 2001).
  • Berikan setelah kejang ke-2. Pemberian pada kejang pertama :
    • pasien dengan riwayat keluarga epilepsi
    • perubahan epileptiform pada EEG
    • adanya cidera pada otak (Kwan, 2001; Simon, 2004).

Panduan Terapi Antikonvulsan
(cont’d)

  • Penggunaan awal : monoterapi (terapi tunggal), pilihan pertama adalah fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat (Kwan, 2001; Simon, 2004).
  • Mulai dengan dosis rendah. Naikkan perlahan-lahan sampai kejang terkontrol atau timbul efek samping (Simon, 2004).
  • Gagal satu jenis obat: ganti dengan obat lain sebelum memutuskan untuk memberikan kombinasi dua obat atau lebih (Muggleton, 2001). Pertimbangkan usia pasien, tipe kejang, frekuensi, dan penyebab kejang (Simon, 2004; Muggleton, 2001).

Panduan Terapi Antikonvulsan
(cont’d)

  • Pantau kadar obat dalam darah (1-2 kali). Lakukan monitoring: efek samping, interaksi antar obat atau antara antikonvulsan dengan obat lain, dan komplikasi yang mungkin timbul (Simon, 2004).
  • Pemberian sampai dua tahun bebas kejang (dua tahun setelah kejang terakhir), terutama pada kasus kejang parsial dan EEG abnormal (Simon, 2004) à antikonvulsan jangka lama : risiko gangguan kognitif dan kejiwaan (Bouma dkk, 2002).

Panduan Terapi Antikonvulsan
(cont’d)

  • Tetap tidak berespon terhadap OAE yang telah diberikan (4 atau 5 jenis obat) à pembedahan (juga dilakukan pada pasien epilepsi pada lobus temporalis, di mana sebagian besar tipe kejangnya adalah parsial kompleks) (Simon, 2004).

Referensi

  • Bouma, P.A.D., Peters, A.B.C., Brouwer, O.F. 2002. Long-term course of childhood epilepsy following relapse after antiepileptic drug withdrawl. J Neurol Neurosurg Psychiatry 72: 507-510
  • Cao, A., Steinberg, I., Gill, M.A. Adult Seizure Disorders : New Antiepileptic Drug Treatments. Jurnal CE, April 2001 : 14-22
  • Kwan, P. 2001. Management of Patients with Newly Diagnosed Epilepsy. Epilepsy Quarterly, vol 9 (issue no 2) : 1-18
  • Muggleton, J. 2001. Epilepsy : Nature, Management, and Memory by Mike Connor. Last updated 15th March 2001. www.mugsy.or/connor23.htm
  • Simon, H., 2004. What are the general guidelines for long-term treatment of epilepsy? University of Maryland Medicine. www.umm.ed/patiented/articles/what_specific_long-term_treatment_of_epilepsy. Dicetak tanggal 6 Januari 2004.



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More