Barangkali gambaran sosok seperti ini cukup akrab bagi Anda: rekan kerja yang tak pernah punya kata-kata yang menyenangkan, baik itu dalam rapat intern rutin mingguan maupun dalam obrolan makan siang di kantin. Orang-orang seperti ini biasanya menyita energi pada sesi brainstorming karena komentar-komentarnya yang "nggak penting". Kecenderungan mereka yang mudah "bete" juga mengganggu. Pendek kata, negativitas mereka bisa mengkontaminasi kehidupan kantor.
Seperti ditegaskan oleh Profesor Manajemen dari Sekolah Wharton Sigal Barsade yang mempelajari pengaruh emosi-emosi di tempat kerja, emosi itu menular. "Berbagai emosi menjalar dari satu orang ke orang lain seperti virus," kata dia.
Barsade ikut dalam tim penulis paper "Why Does Affect Matter in Organizations?" Dalam studi perilaku organisasional, "affect" merupakan kata lain dari "emotion". Dan, jawaban atas pertanyaan yang tersurat dari judul paper itu: mood, emosi dan semua sikap dari karyawan memiliki pengaruh terhadap kinerja, pengambilan keputusan, kreativitas, turnover, tim kerja, negosiasi dan kepemimpinan.
"Semua orang membawa emosi-emosi mereka ke tempat kerja," ujar Barsade. "Anda membawa otak Anda ke kantor. Anda juga membawa emosi-emosi Anda ketika bekerja. Berbagai perasaan itu menggerakkan kinerja."
Dalam paper tersebut, Barsade dan timnya merinci adanya tiga tipe perasaan yang berbeda:
1. Discrete, alias emosi-emosi sesaat, seperti senang, marah, takut dan muak
2. Mood, yakni perasaan-perasaan jangka panjang dan tidak berkaitan dengan penyebab khusus, misalnya seseorang yang periang, atau minder.
3. Dispositional, atau sifat-sifat personal yang melekat pada seseorang yang 'mendefinisikan' yang bersangkutan secara keseluruhan. Kita sering mendengar orang berkomentar, "Dia selalu gembira", atau, "Dia selalu berprasangka buruk."
Menurut Barsade, beberapa orang memang memiliki kontrol yang lebih baik terhadap emosinya dibandingkan yang lain. Namun, tidak berarti bahwa orang-orang di sekitarnya tidak terpengaruh oleh mood mereka.
"Anda mungkin tidak menyadari bahwa Anda sedang memperlihatkan emosi Anda, tapi itu tercermin dari ekspresi wajah atau bahasa tubuh Anda. Emosi-emosi yang tidak kita sadari itu bisa mempengaruhi pemikiran dan perilaku kita," ujar dia.
Kepada para manajer Barsade menyarankan agar menstrasfer emosi yang positif, misalnya dengan mengatakan, "Aku tahu kau khawatir. Segala sesuatunya tidak tampak baik, tapi kau tahu kita punya cara untuk mengatasinya dan kita bisa menyelesaikannya bersama-sama."
Karyawan akan mengapresiasi kejujuran seperti itu dan bisa mendapatkan rasa nyaman untuk bersikap optimis.
Data yang Berharga
Kecerdasan Emosional --frasa yang makin akrab dalam khasanah psikologi dan pendidikan-- kini mulai banyak dibicarakan juga dalam lingkaran bisnis. Sekolah-sekolah bisnis kini getol mengajari para eksekutif untuk menjadi cerdas secara emosional dan bagaimana mengelola emosi-emosi karyawan mereka.
"Ide di balik kecerdasan emosional di tempat kerja tak lain keyakinan akan adanya skill untuk memperlakukan emosi karyawan sebagai data berharga dalam mengarahkan situasi," jelas Barsade seraya menegaskan bahwa menurut riset, orang-orang yang memiliki emosi positif cenderung tampil lebih baik di tempat kerja.
Dikatakan, orang-orang yang positif secara kognitif berproses lebih efektif. Ketika berada dalam mood positif, orang akan lebih terbuka untuk menyerap informasi dan meng-handle-nya secara efektif. Kita tidak perlu mengubah rekan-rekan sekantor yang negatif, tapi cukup dengan menolak untuk "menangkap" mood negatif mereka.
Kita bisa mulai dari diri kita masing-masing, misalnya, sebelum menghadiri rapat bertekad untuk tidak melayani orang-orang yang tak pernah punya ide, tapi selalu menganggap ide orang lain buruk.
ref: http://www.portalhr.com/tips/2id83.html
0 comments:
Post a Comment